Jumat, 01 Oktober 2021

3.2.a.9. Koneksi Antar Materi - Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya

3.2.a.9. Koneksi Antar Materi - Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya

Pemimpin Pembelajaran  dalam Pengelolaan Sumber Daya



Bambang Widyanarko, M. Pd – SMPN 1 Cianjur
CGP Angkatan 2 Kabupaten Cianjur Jawa Barat


a. Simpulan Materi di Modul 3.2

Dalam membahas topik Pemimpin Pembelajaran  dalam Pengelolaan Sumber Daya, pertama-tama harus dipahami konsep sekolah sebagai suatu ekosistem. Sekolah dapat dianggap sebagai sebuah ekosistem dimana terdapat interaksi antara faktor biotik (unsur yang hidup) dan abiotik (unsur yang tidak hidup). Kedua unsur ini saling berinteraksi satu sama lainnya sehingga mampu menciptakan hubungan yang selaras dan harmonis. Dalam ekosistem sekolah, faktor-faktor biotik akan saling memengaruhi dan membutuhkan keterlibatan aktif satu sama lainnya. Faktor-faktor biotik yang ada dalam ekosistem sekolah di antaranya adalah Murid, Kepala Sekolah, Guru, Staf/Tenaga Kependidikan, Pengawas Sekolah, Orang Tua, dan Masyarakat sekitar sekolah. Selain faktor-faktor biotik yang sudah disebutkan, faktor-faktor abiotik yang juga berperan aktif dalam menunjang keberhasilan proses pembelajaran di antaranya seperti Keuangan, Sarana dan prasarana.

Dalam hal ini seorang kepala sekolah diharapkan memiliki sejumlah kompetensi. Sebagaimana termaktub pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13  Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah yaitu: bahwa standar  kompetensi Kepala Sekolah/Madrasah paling tidak memiliki lima kompetensi, yakni kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi dan kompetensi sosial. Bila kita lihat kompetensi manajerial seorang kepala sekolah, kita akan mendapat berbagai rincian seperti:

1) Menyusun perencanaan sekolah/madrasah untuk berbagai tingkatan perencanaan;

2) Mengembangkan organisasi sekolah/madrasah sesuai dengan kebutuhan;

3) Memimpin sekolah/madrasah dalam rangka pendayagunaan sumber daya sekolah/madrasah secara optimal;

4) Mengelola perubahan dan pengembangan sekolah/madrasah menuju organisasi pembelajaran yang lebih efektif;

5) Menciptakan budaya dan iklim sekolah/madrasah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik;

6) Mengelola guru dan staf dalam rangka pendayagunaan sumber daya manusia secara optimal; 

7) Mengelola sarana dan prasarana sekolah/madrasah dalam rangka pendayagunaan secara optimal;

8) Mengelola hubungan sekolah/madrasah dan masyarakat dalam rangka pendirian dukungan ide, sumber belajar dan pembinaan sekolah/madrasah;

9) Mengelola peserta didik dalam rangka penerimaan peserta didik baru, dan penempatan dan pengembangan kapasitas peserta didik;

10) Mengelola pengembangan kurikulum dan kegiatan pembelajaran sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan nasional;

11) Mengelola keuangan sekolah/madrasah sesuai dengan prinsip pengelolaan yang akuntabel, transparan dan efisien;

12) Mengelola ketatausahaan sekolah/madrasah dalam mendukung pencapaian tujuan sekolah/madrasah;

13) Mengelolah unit layanan khusus sekolah/madrasah dalam mendukung kegiatan pembelajaran dan kegiatan peserta didik di sekolah/madrasah;

14) Mengelolah system informasi sekolah/madrasah dalam mendukung penyusunan program dan pengambilan keputusan;

15) Memanfaatkan kemajuan teknologi informasi bagi peningkatan pembelajaran dan manajemen sekolah/madrasah;

16) Melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan program kegiatan. 


Dari uraian diatas terlihat jeals peran sentral seorang kepala sekolah sebagai figure pemimpin pembelajaran yang harus dapat mengelola semua sumberdaya yang dimiliki sekolahnya. Kepala sekolah harus dapat memainkan berbagai peran dengan efektif termasuk sebagai instructional leader karena sejatinya kepala sekolah-lah yang memiliki posisi dan kapasitas di ekosistem sekolah. Kepala sekolah disibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan rutin yang bersifat administratif, pertemuan-pertemuan, dan kegiatan-kegiatan lain yang bersifat non-akademis sehingga waktu untuk mempelajari pembaruan/inovasi kurikulum, proses belajar mengajar, dan penilaian hasil belajar siswa kurang mendapatkanperhatian. Padahal, ketiga hal yang terakhir sangat erat kaitannya dengan peningkatan mutu proses belajar mengajar, yang pada gilirannya, mutu proses belajar mengajar sangat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas siswa dan kualitas sekolah secara keseluruhan. Untuk itu, sudah selayaknya peran kepemimpinan pembelajaran memperoleh porsi waktu yang lebih besar dibanding dengan peran-peran yang lain. Peran-peran yang yang lain bukan tidak penting, akan tetapi peran kepemimpinan pembelajaran harus yang terpenting.

Untuk dapat mengelola sumber daya sekolah secara efektif dan efisien hal yang pertama yang harus dilakukan adalah merubah paradigma dari pendekatan berbasis kekurangan menjadi pendekatan berbasis asset. Pendekatan berbasis kekurangan/masalah (Deficit-Based Thinking)  akan memusatkan perhatian kita pada apa yang mengganggu, apa yang kurang, dan apa yang tidak bekerja.  Segala sesuatunya akan dilihat dengan cara pandang negatif.  Kita harus bisa mengatasi semua kekurangan atau yang menghalangi tercapainya kesuksesan yang ingin diraih.  Semakin lama, secara tidak sadar kita menjadi seseorang yang terbiasa untuk merasa tidak nyaman dan curiga yang ternyata dapat menjadikan kita buta terhadap potensi dan peluang yang ada di sekitar.

Pendekatan  berbasis aset (Asset-Based Thinking) adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh Dr. Kathryn Cramer, seorang ahli psikologi yang menekuni kekuatan berpikir positif untuk pengembangan diri.  Pendekatan ini merupakan cara praktis menemukan dan mengenali hal-hal yang positif dalam kehidupan, dengan menggunakan kekuatan sebagai tumpuan berpikir, kita diajak untuk memusatkan perhatian pada apa yang bekerja, yang menjadi inspirasi, yang menjadi kekuatan ataupun potensi yang positif.

Asset-Based Community Development (ABCD) yang selanjutnya akan kita sebut dengan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (PKBA) merupakan suatu kerangka kerja yang dikembangkan oleh John McKnight dan Jody Kretzmann, di mana keduanya adalah pendiri dari ABCD Institute di Northwestern University. ABCD dibangun dari kemampuan, pengalaman, pengetahuan, dan hasrat yang dimiliki oleh anggota komunitas, kekuatan perkumpulan lokal, dan dukungan positif dari lembaga lokal untuk menciptakan kehidupan komunitas yang berkelanjutan (Kretzman, 2010).  

Pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (PKBA) muncul sebagai kritik terhadap pendekatan konvensional atau tradisional yang menekankan pada masalah, kebutuhan, dan kekurangan yang ada pada suatu komunitas. Pendekatan tradisional tersebut menempatkan komunitas sebagai penerima bantuan, dengan demikian dapat menyebabkan anggota komunitas menjadi tidak berdaya, pasif, dan selalu merasa bergantung dengan pihak lain.

Pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (PKBA) menekankan pada nilai, prinsip dan cara berpikir mengenai dunia. Pendekatan ini memberikan nilai lebih pada kapasitas, kemampuan, pengetahuan, jaringan, dan potensi yang dimiliki oleh komunitas. Dengan demikian pendekatan ini melihat komunitas sebagai pencipta dari kesehatan dan kesejahteraan, bukan sebagai sekedar penerima bantuan. Pendekatan PKBA menekankan dan mendorong komunitas untuk dapat memberdayakan aset yang dimilikinya serta membangun keterkaitan dari aset-aset tersebut agar menjadi lebih berdaya guna. Kedua peran yang penting ini menurut Kretzman (2010) adalah jalan untuk menciptakan warga yang produktif.

Pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset  menekankan kepada kemandirian dari suatu komunitas untuk dapat menyelesaikan tantangan yang dihadapinya dengan bermodalkan kekuatan dan potensi yang ada di dalam diri mereka sendiri, dengan demikian hasil yang diharapkan akan lebih berkelanjutan. Pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset  berfokus pada potensi aset/sumber daya yang dimiliki oleh sebuah komunitas.  Selama ini komunitas sibuk pada strategi mencari pemecahan pada masalah yang sedang dihadapi. Pendekatan PKBA merupakan pendekatan yang digerakkan oleh seluruh pihak yang ada di dalam sebuah komunitas atau disebut sebagai community-driven development. Di dalam buku ‘Participant Manual of Mobilizing Assets for Community-driven Development’ (Cunningham, 2012) menuliskan perbedaannya dengan pendekatan yang dibantu oleh pihak luar.  Penjelasan yang ada sebetulnya ditujukan untuk pengembangan masyarakat, namun tetap bisa kita implementasikan pada lingkungan sekolah karena sebetulnya adalah miniatur sebuah tatanan masyarakat di suatu daerah.

Perubahan masyarakat yang signifikan karena warga lokal dalam masyarakat tersebut yang mengupayakan perubahan. Apabila kita aplikasikan ke lingkungan sekolah dan seluruh warga sekolah berupaya melakukan perubahan maka perubahan tersebut pasti akan terjadi. Warga masyarakat akan bertanggung jawab pada yang sudah mereka mulai.  Dengan demikian setiap warga sekolah akan bertanggung jawab atas apa yang sudah dimulai.

Membangun dan membina hubungan merupakan inti dari membangun masyarakat inklusif yang sehat.  Membangun dan membina hubungan antar warga sekolah, seperti hubungan guru-guru, guru – kepala sekolah, guru – murid – guru, guru – staf sekolah – guru, staf sekolah – murid – staf sekolah, ataupun kepala sekolah – murid – kepala sekolah menjadi sangat penting untuk membangun sekolah yang sehat dan inklusif.

Masyarakat tidak pernah dibangun dengan berfokus terus pada kekurangan, kebutuhan dan masalah. Masyarakat merespons secara kreatif ketika fokus pembangunan pada sumber daya- sumber yang tersedia, kapasitas yang dimiliki, kekuatan dan aspirasi yang ada.  Sekolah harus dibangun dengan melihat pada kekuatan, potensi, dan tantangan, kita harus bisa fokus pada pembangunan sumber daya yang tersedia, kapasitas yang kita miliki, serta kekuatan dan aspirasi yang sudah ada. 

Kekuatan sekolah berbanding lurus dengan tingkat keberagaman keinginan unsur sekolah yang ada, dan pada tingkat kemampuan mereka untuk menyumbangkan kemampuan yang ada pada mereka dan aset yang ada untuk sekolah yang lebih baik.  Dalam setiap unsur sekolah, pasti ada sesuatu yang berhasil. Dari pada menanyakan “ada masalah apa?” dan “bagaimana memperbaikinya?”, lebih baik bertanya “apa yang telah berhasil dilakukan?” dan “bagaimana mengupayakan lebih banyak hasil lagi?” Cara bertanya ini mendorong energi dan kreativitas. 

Menciptakan perubahan yang positif mulai dari sebuah perbincangan sederhana. Hal ini merupakan cara bagaimana manusia selalu berpikir bersama dan mencetuskan/memulai suatu tindakan. Suasana yang menyenangkan harus merupakan salah satu prioritas tinggi dalam setiap upaya membangun sekolah. Faktor utama dalam perubahan yang berkelanjutan adalah kepemimpinan lokal dan pengembangan dan pembaharuan kepemimpinan itu secara terus menerus. Titik awal perubahan selalu pada perubahan pola pikir (mindset) dan sikap yang positif.

Dalam mengatasi tantangan pada pendekatan tradisional yang digunakan untuk mengatasi permasalahan perkotaan, di mana penyedia jasa dan lembaga donor lebih menekankan pada kebutuhan dan kekurangan yang terdapat pada komunitas, Kretzmann dan McKnight menunjukkan bahwa aset yang dimiliki oleh komunitas adalah kunci dari usaha perbaikan kehidupan pada komunitas perkotaan dan pedesaan.

Menurut Green dan Haines (2002) dalam Asset building and community development, ada 7 aset utama atau di dalam buku ini disebut sebagai modal utama, yaitu:


1.    Modal Manusia

2.    Modal Sosial

3.    Modal Fisik

4.   Modal Lingkungan/alam

5.    Modal Finansial

6.    Modal Politik

7.    Modal Agama dan budaya


Seorang kepala sekolah seharusnya mengelola sumber daya sekolah secara efektif dan efisien. Semua sumber daya (fasilitas) yang sekolah miliki harus berdampak untuk memfasilitasi proses pembelajaran murid. Namun seringkali pada pelaksanaanya belum dapat dikatakan efektif. Perlu dipelajari cara alternatif yang bisa kita lakukan untuk memaksimalkan sumber daya yang sudah ada demi meningkatkan kualitas pembelajaran murid. Selain itu perlu dibahas pula apakah sekolah memanfaatkan apa yang ada di lingkungan sekitar.

Hubungan dengan Materi di Modul sebelumnya.

Topik ‘Pemimpin Pembelajaran  dalam Pengelolaan Sumber Daya’ pda modul 3.2 ini tentu berhubungan dengan materi di modul sebelumnya. Bila kita gunakan konsep utama di modul ini bahwa sekolah adalah sebuah ekosistem. 

1. Modul 1.1: Refleksi Filosofi Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara akan memberikan landasan mengenai jati diri guru sebagai pemimpin pembelajaran salah satunya dengan semboyan Ing ngarso sung toludo, Ing madyo mangun karso dan Tut wuri handayani. Kemudian pengibaratan guru sebagai petani dan menghamba kepada murid. 

2. Modul 1.2: Nilai dan Peran Guru Penggerak akan memperjelas nilai guru sebagai pendidik dan manusia.

3. Modul 1.3:  Visi Guru Penggerak memperlihatkan kompetensi untuk dapat Menyusun Visi pribadi sebagai guru yang visi tersebut berpihak pada murid.

4. Modul 1.4: Budaya Positif berhubungan dengan konsep di modul ini yaitu pendekatan berbasis asset untuk pengembangan komunitas.

5. Modul 2.1: Memenuhi Kebutuhan Belajar Murid Melalui Pembelajaran Berdiferensiasi merupakan salah satu pratek pembelajaran yang berpihak pada murid.

6. Modul 2.2: Pembelajaran Sosial dan Emosional menitik beratkan pada penempatan murid sebagai sentral dan tujuan system Pendidikan. 

7. Modul 2.3: Coaching juga merupakan salah satu praktek memberdayakan murid dalam mengembangkan kompetensi pribadinya.

8. Modul 3.1: Pengambilan Keputusan Sebagai Pemimpin Pembelajaran menggambarkan dinamika dan pronlematika yang dapat ditemui ketika suatu keputusan harus dibuat.


b. Rancangan Tindakan Aksi Nyata

Judul Modul : Pemimpin Pembelajaran  dalam Pengelolaan Sumber Daya

Nama CGP : BAMBANG WIDYANARKO, M.Pd.

Latar belakang

SMPN1 Cianjur telah memiliki website resmi sekolah namun belum dimanfaatkan dengan efektif khususnya untuk memberikan layanan pembelajaran. Status langganan bulanan saat ini masih aktif namun penggunaannya tidak efisien. Web itu sekolah hanya dapat digunakan pada kegiatan PAS atau PAT saja. Hal ini memunculkan pemikiran bahwa uang sewa web bulanan tidak dapat bermanfaat apabila tidak ada aktifitas hariannya.


Tujuan

Melengkapi web SMPN 1 Cianjur dengan fitur pembelajaran seperti LMS yang dapat diakses oleh murid baik itu untuk PJJ regular atau self-directed learning. 


Tolak ukur

Kriteria keberhasilan tercapai apabila web sekolah telah dapat dilengkapi dengan fitur pembelajaran dan dapat digunakan dengan efektif oleh murid, guru dan warga sekolah lainnya.


Linimasa Tindakan (BAGJA)

PRAKARSA PERUBAHAN Membuat website sekolah sebagai sarana pembelajaran







Dukungan yang dibutuhkan

1. Kepala sekolah dengan kapasitas selaku pemimpin pembelajaran.

2. PKS HUMAS selaku penanggung jawan konten relasi masyarakat.

3. PKS Kurikulum selaku penanggung jawan konten pembelajaran seperti CBT.

4. PKS Kesiswaan selaku penanggung jawan konten kesiswaan.

5. Tim IT khususnya web master di situs resmi sekolah.

6. Rekan Sejawat yaitu guru dan TU.

7. Siswa yang di rasa dapat membantu,

8. Ahli di bidang IT yang kompeten.

9. Komite sekolah.

10. Komunitas lain.




4 komentar: